Advokat : Profesi Bebas dan Mandiri
Lawyers
are the only category of people not threatened by the ignorance of laws
–
Jeremy Bentham
Dalam sejarahnya
zaman Romawi kuno istilah Advokat adalah jabatan atau profesi yang mulia (Officium Nobile). Karena pada saat itu
Advokat banyak memberikan bantuan hukum kepada orang miskin, mereka menolong
orang-orang yang terjebak dengan hukum dan kekuasaan tanpa menerima imbalan
atau honorium. Fokus utama mereka adalah menegakkan hak asasi manusia karena
banyaknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penguasa.
Di
Indonesia sesuai dengan dasar filosofis dibentuknya Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) bahwa Advokat adalah bagian dari
kekuasaan kehakiman hal ini berarti profesi Advokat bebas dari segala campur
tangan dan pengaruh dari luar karena sifatnya yang bebas dan mandiri serta
bertanggungjawab. Sehingga dalam negara yang menganut supremasi hukum Advokat
adalah profesi yang wajib dilindungi agar tercipta suatu peradilan yang jujur,
adil dan memiliki kepastian hukum.
Dalam menjalankan
tugasnya Advokat berstatus sebagai penegak hukum dan memiliki hak-hak yang
diberikan dan dilindungi oleh UU.
Seperti kebebasan mengeluarkan pernyataan dan pendapat, bebas
menjalankan tugas profesinya, memiliki hak imunitas, berhak memperoleh
informasi/dokumen dari instansi pemerintah/pihak lain. Semua hak tersebut melekat
dalam diri Advokat dalam rangka membela perkara yang sedang ditanganinya dan
dilakukan berdasarkan tanggungjawab dan kode etik profesi (Pasal 14-17 UU
Advokat).
Organisasi Advokat Sebagai Penegak Hukum
Advokat
memiliki hak imunitas yang diatur dalam pasal 16 UU Advokat, dimana Advokat dalam
menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik tidak dapat dituntut secara
pidana dan perdata. Namun dalam praktiknya banyak Advokat yang dijerat dengan
pasal menghalang-halangi penyidikan (obstruction
of justice) oleh penegak hukum tanpa koordinasi dengan organisasi Advokat. Padahal Advokat adalah anggota
organiasi yang merupakan penegak hukum
dan organ negara.
Kebebasan
profesi Advokat menurut saya sudah universal dan diakui oleh banyak
negara-negara demokratis di dunia. Jadi apabila penegak hukum menjerat Advokat
dengan menggunkan pasal obstruction of
justice atau pasal pidana lainya tanpa terlebih dahulu memberikan ruang
kepada organisasi Advokat untuk berkoordinasi maka sama saja merobohkan pilar
supremasi hukum dan demokrasi yang dijamin oleh UUD 1945.
PERADI dan Penegak Hukum
KPK sebagai
penegak hukum ketika menahan salah satu anggota Advokat Frederich Yunadi tidak
melakukan koordinasi dengan organisasi Advokat yang menaunginya yaitu PERADI.
Hal tersebut jelas telah melukai organisasi yang sebenarnya memiliki kewenangan
juga dalam memeriksa yang bersangkutan. Padahal organisasi Advokat memiliki
tugas yang diberikan oleh UU Advokat dalam melakukan pengawasan anggotanya yang
diduga melakukan pelanggaran kode etik dan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan
yang dilakukan organisasi Advokat terhadap anggotanya adalah pertama, Advokat
yang melakukan pelanggaran kode etik, kedua, Advokat yang melakukan pelanggaran
peraturan perundang-undangan. Pelanggaran peraturan perundang-undangan ini
tentu sangat luas dan tidak memiliki batasan, bisa melakukan pelanggaran
perdata maupun pidana.
Nah
sudah menjadi tugas organisasi Advokat-lah dalam menegakkan aturan kepada
anggotanya yang melakukan pelanggaran tersebut. Kalaupun penegak hukum sudah
terlebih dahulu mengetahui adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan oleh
oknum Advokat maka sudah sewajarnya melakukan prosedur penegakan hukum dengan
melibatkan organisasi Advokat. Namun dalam kenyataanya tidak pernah KPK dan
penegak hukum lainnya melakukan hal tersebut.
Pada
titik inilah menurut saya KPK bukan saja melanggar asas supremasi hukum tetapi
juga telah melakukan pelanggaran kewenangan dalam menjalankan tugasnya sebagai
penegak hukum. Dalam konteks menjalankan tugas negara sudah sepatut dan
selayaknya KPK menghargai dan memberikan ruang kepada penegak hukum lainnya
(organisasi Advokat) dalam menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan UU
Advokat.
Saya bukan
orang yang tidak pro pemberantasan korupsi tapi pada prinsipnya saya berpegang
bahwa semua kewenangan wajib diletakkan pada tempatnya dan diberikan ruang agar
tidak ada kesenjangan kewenangan guna menjamin prinsip check and balances system dalam penyelenggaraan penegakan hukum.
Memori Kesepakatan
Kedepan
agar organisasi Advokat dan penegak hukum sama-sama saling menghargai maka
sudah sepatutnya dibuatkan semacam kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MoU). Hal-hal yang perlu diatur dalam
MoU tersebut adalah : (1). Dalam hal tindak pidana pemanggilan terhadap Advokat
harus dengan pemberitahuan organiasi Advokat. (2). Memberikan kesempatan kepada
organisasi Advokat melakukan pemeriksaan terhadap anggotanya walaupun sudah
ditangani penegak hukum. (3). Kooperatif menyerahkan dokumen dan anggotanya
kepada penegak hukum apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum apabila belum
ditangani oleh penegak hukum, dan hal-hal lainnya yang memberikan keseimbangan
antara kedua lembaga dengan berpatokan pada UU yang menjadi dasar kewenangannya
masing-masing.
Saya percaya bahwa kita sudah mulai menuju
kemapanan berdemokrasi dan penegakan supremasi hukum. Maka kita jangan kembali
lagi kepada kediktatoran penguasa atau kesewenangan penegak hukum seperti zaman
orde lama dan orde baru yang telah lama kita tinggalkan.
Jakarta,
19 Januari 2018
Komentar
Posting Komentar