CATATAN
PEMBERANTASAN KORUPSI ERA PEMERINTAHAN JOKOWI-JK
BAGIAN 1 :
NAWACITA JOKOWI-JK DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Tahun 2017, Presiden
Jokowi telah menjalankan roda pemerintahannya selama tiga tahun lebih. Waktu
yang cukup untuk menguji realisasi atas komitmen antikorupsi Jokowi-JK sesuai dengan
sembilan agenda prioritas (Nawacita) yang telah dicanangkan. Komitmen
antikorupsi tersebut setidaknya tercantum pada agenda Nawacita pada prioritas
kedua dan keempat, yaitu;
1. Prioritas
kedua, Pemerintah tidak absen untuk membangun tata kelola Pemerintahan yang
bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Dengan memberikan prioritas pada Upaya
memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan
melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu
dan lembaga perwakilan. Mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang transparan. Konsisten menjalankan agenda reformasi
birokrasi perbaikan kualitas pelayanan publik.
2. Prioritas
keempat, melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat dan terpercaya, melalui prioritas pada membangun politik legislasi
yang kuat : pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup
& reformasi lembaga penegak hukum, memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi.
Nawacita tersebut telah dicanangkan
oleh Jokowi-JK sejak awal masa kampanye hingga tahun ketiga pemerintahannya,
maka kinerja pemerintahan secara keseluruhan perlu evaluasi terutama upaya dan
tindakan yang telah dilakukan Jokowi-JK di dalam penegakan hukum khususnya
pemberantasan korupsi.
BAGIAN
2 : EVALUASI NAWACITA KEDUA
1.
Tata
Kelola Partai Politik
Terdapat dua agenda penting dalam reformasi
kepartaian dan perbaikan tata kelola partai yang baik yaitu, pertama merestorasi undang-undang partai
politik untuk mendorong pelembagaan partai politik melalui penguatan sistem
kaderisasi, rekruitmen, dan pengelolaan keuangan Partai. Kedua, mendorong pengaturan pembiayaan partai politik melalui
APBN/APBD yang diatur dengan undang-undang partai politik.
Pada poin pertama sangat penting karena sudah
direkomendasikan oleh LIPI, KPK dan ICW yang dimana terdapat benang merah
rekomendasi tersebut, yaitu pendanaan partai politik yang berkelanjutan, penerapan
etik, pola rekrutmen, kaderisasi yang sehat dan sistem transparansi keuangan
partai politik. Untuk melakukan reformasi tersebut dapat dilakukan melalui
revisi undang-undang partai politik, namun hal ini tidak dilakukan oleh Pemerintahan
Jokowi-JK, yang dilakukan justru hanya menaikkan dana partai politik yang
sebelumnya sebesar Rp. 108,-/suara sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun
2009 Tentang Bantuan Keuangan Partai Politik, menjadi Rp. 1000,-/suara atau
naik 10 kali lipat.
Namun revisi tersebut hanya menaikkan dana
partai politik saja tanpa diikuti transparansi keuangan yang baik sehingga
kalangan akademisi dan ICW memberikan rekomendasi untuk perbaikan tata kelola
keuangan partai politik, yaitu : menyangkut sumber keuangan partai, peruntukan
keuangan, pelaporan audit, keterbukaan informasi, sanksi dan pengawasan.
Kedepan Presiden Jokowi diharapkan dapat
mereformasi partai politik dengan merevisi undang-undang partai politik, guna
meningkatkan kualitas partai politik yang demokratis guna menghasilkan kader
yang berkualitas, profesional serta berintegritas. Salah satu yang diatur dalam
revisi tersebut adalah seperti kewajiban partai politik untuk memberikan dana pendidikan
kaderisasi sebesar 50-60 % dari dana yang diterima oleh partai politik
dari Negara.
2.
Reformasi
Pemilihan Umum
Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E Undang
Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang mempunyai prinsip langsung, bebas, rahasia,
jujur dan adil untuk memilih Eksekutif dan Legislatif telah banyak menyimpang
dari prinsip tersebut, dalam isu yang selama ini menjadi penyakit dalam tubuh
pemilihan umum adalah suap pencalonan, jual beli suara, penghitungan suara,
politik uang dan pengawasan pemilu yang tidak efektif.
Namun di dalam undang-undang pemilihan umum (UU
Pemilu) yang telah menyatukan beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pembahasan dalam undang-undang tersebut tidak
banyak mengarah kepada perbaikan pemilihan umum namun hanya berfokus pada
pembagian kekuasaan, seperti pemberian suara yang diberikan oleh pemerintah
kepada partai politik kembali kepada proporsional tertutup atau terbuka,
penambahan jumlah kursi DPR, diberlakukannya Presiden threshold dan
dinaikkannya batasan penerimaan sumbangan dana kampanye baik dari perseorangan
maupun korporasi.
Sehingga kelemahan pemerintah dan DPR terlihat di
dalam UU Pemilu yang telah diketok pada tanggal 21 Juli 2017 tersebut, terlihat
dari poin-poin yang paling penting dalam undang-undang tersebut yaitu, Pertama, UU Pemilu sama sekali tidak
memberikan perbaikan terhadap bangunan sistem politik dan dasar hukum
penyelenggaraan pemilu ke depan, perdebatan selama pembahasan hanya berkisar
kepada kepentingan jangka pendek partai politik seperti penetapan ambang batas
parlemen 4% yang mengarah pada kepentingan Pemilu 2019, kedua undang-undang Pemilu sama sekali tak menyentuh dan
memperbaiki peninggkatan integritas penyelenggaraan Pemilu, misalnya tidak
adanya pengawasan terhadap dana kampanye yang berasal dari perseorangan maupun
korporasi, ketiga, UU Pemilu
mencabut kewenangan KPU dalam membentuk Dapil DPRD Provinsi, padahal
pembentukan Dapil merupakan kewenangan KPU.
Pengesahan UU Pemilu tersebut sangat sarat
kepentingan politik dan rawan terjadinya korupsi politik, sehingga Pemilu tidak
akan bisa di reformasi kalau hanya mengandalkan UU Pemilu saat ini. Ini menjadi
poin kelemahan Pemerintahan Jokowi JK, yang di mana seharusnya sebagai Presiden
yang didukung oleh mayoritas partai politik di DPR seharusnya bisa memasukkan
nilai-nilai LUBER dan JURDIL di dalam undang-undang tersebut, namun hal itu
tidak dilakukan sehingga ke depan potensi korupsi politik sangat besar.
3.
Reformasi
Birokrasi dan Pelayanan Publik
Dalam laporan tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK,
pemerintah mengklaim telah banyak melakukan reformasi birokrasi dan pelayanan
publik, adapun klaim peningkatan mutu tersebut adalah pertama, reformasi pelayanan lalu lintas yang dimana pelayanan
ditingkatkan melalui adopsi teknologi informasi sehingga memperkecil resiko
pungutan liar (pungli), kedua,
kewajiban melaporkan harta kekayaan yang di mana pada tahun 2017 pejabat yang
melaporkannnnya meningkat menjadi 78%, sehingga membuat akuntabilitas
penyelenggaraan negara lebih transparan, ketiga
perbaikan layanan melalui pengurangan lembaga non struktural (LNS) sehingga
mengefisensikan anggaran sebesar Rp. 25,3 miliar, penyebaran Sipil Negara
hingga ke pelosok daerah, hingga pengangkatan tenaga kesehatan Pegawai Tidak
Tetap, keempat perbaikan dan
peningkatan tata kelola, transparansi dan kinerja birokrasi yang dimana
kategori akuntabilitas kinerja baik meningkat dari tahun 2014-2016 dengan
rata-rata peningkatan 20%.
Namun terdapat sejumlah catatan buruk dalam Pemerintahan
Jokowi-JK dalam hal pelayanan publik yang masih belum teratasi diantaranya
adalah:
A. Saber
Pungli
Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2016 tentang Pembentukan Tim Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Tim Saber Pungli) tidak berjalan efektif, karena sejak dibentuk tim yang mempunyai fungsi intelijen, pencegahan dan sosialisasi, penindakan serta yustisi tersebut telah menangani sebanyak 78 kasus dan melibatkan 182 orang namun sebanyak 58% atau 45 kasus belum diproses sampai kepenuntutan bahkan hanya sedikit yang masuk ke Pengadilan, jadi banyak yang menilai tim ini hanya gencar pemberantasan di awal namun akhirnya tidak jelas kemana arah dan sistem yang mau dibangun dalam memberantas Pungli.
Kritik juga telah banyak diungkapkan banyak
pihak terkait dengan pembentukan Satgas ini, diantaranya adalah Ombusdman RI yang
menyatakan bahwa membentuk lembaga baru hanya menambah beban anggaran Negara,
Ombusdman lebih menyarankan peningkatan kinerja dari Inspektorat yaitu
Pengawasan Internal Pemerintah, ini menjadi catatan penting bagi pemberantasan Pungli
di tubuh penyelenggara Negara, apakah akan terus melanjutkan lembaga ini atau
menguatkan lembaga yang sudah ada.
B. Pencegahan
Korupsi Dana Desa
Peningkatan dana desa (DD) tidak dibarengi dengan pengawasan yang memadai, pemerintah hanya membentuk regulasi yaitu Satgas Dana Desa berdasarkan Keputusan Menteri Desa Nomor 50 Tahun 2017, namun setelah dibentuk korupsi DD tidak menunjukkan perbaikan dan malah peningkatan kasus yang di mana sampai tahun 2017 ada 101 Kepala Desa dan 6 Perangkat Desa yang korupsi.
Peningkatan kasus ini sedari dulu sudah mendapat
perhatian dari KPK dan telah memberikan rekomendasi di dalam mencegah korupsi DD,
langkah yang harus dilakukana adalah: pembenahan pada penyaluran, sistem
pertanggungjawaban, formula besaran nominal dan pengawasan secara keseluruhan.
Salah satu contoh sistem yang dimaksud adalah
melalui sistem keuangan desa (Siskeudes) yang dikembangkan BPKP, Kemendagri dan
Kemendesa dan PDTT. Namun menurut data KPK sampai dengan kuartal pertama tahun
2017 baru sekitar 30% dari 74.954 desa yang menerima DD menggunakan Siskeudes,
namun 70% lagi belum. Hal ini sangat berbahaya dalam pertanggungjawaban DD, ke
depan KPK sebaiknya memanggil semua stakeholder
membicarakan hal ini untuk menyalurkan DD sesuai tujuannya yaitu untuk pembangunan
desa bukannya masuk kantong Kepala Desa.
C. Pengadaan
Barang dan Jasa
Sepanjang tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 semester II kasus korupsi yang telah merugikan Negara sebesar Rp. 680 Miliar, korupsi pengadaan barang dan jasa telah meningkat yaitu total 438 kasus yang dimana rata-rata setiap tahunnya 34% kasus korupsi terjadi setiap tahunnya. Walaupun pemerintah sudah berupaya untuk melaksanakan pengadaan barang dan jasa 100% secara elektronik masih belum tercapai.
Kedepannya untuk meningkatkan
mutu pelayanan publik yang memadai maka alangkah baiknya pemerintah melakukan
integrasi dan planing penerapan elektronik pengadaan dari awal sampai akhir
yaitu melalui e-planing, e-budgeting,
e-procurement dan e-money. Selain
itu untuk mencegah sumber daya manusianya melakukan korupsi maka KPK telah
menyarankan untuk memperbaiki dan mencegah praktik korupsi yaitu: pertama,
sentralisasi pengadaan barang dan jasa dengan batasan tertentu, kedua, integrasi
antara perencanaan penganggaran pengadaan barang dan jasa, ketiga, pengembangan
perangkat pendukung yaitu value for money
dan pengadaan sumber daya manusia yang mumpuni. Mudah-mudahan kedepannya
pemerintah bisa melakukan langkah-langkah yang di atas.
D. Pelayanan
E-KTP
Setelah kasus korupsi e-KTP terungkap di awal tahun 2014 sampai saat ini telah membuat dampak yang sangat besar terhadap permohonan pengajuan KTP yang dimana memakan waktu yang sangat lama dan berlarut-larut, alasan pemerintah selama ini adalah blangko e-KTP kosong atau tidak ada, warga disuruh menunggu sampai blangko tersebut tersedia. Pemerintahan Jokowi-JK acapkali tidak menemukan solusi dalam penyelesaian masalah ini, karena hingga akhir tahun 2017 masih banyak warga yang mengeluhkan lamanya pengurusan e-KTP. Menurut data Kemendagri sepanjang tahun 2017 ada 2.400 pengaduan terkait dokumen E-KTP, pengaduan ini diantaranya terlambatnya percetakan e-KTP, blangko habis dan pembuatan akta dipungut biaya.
Kedepannya pemerintah harus
serius menangani ini, karena animo masyarakat mengurus KTP sangat tinggi dan
pemerintah Jokowi-JK harus memenuhi hal tersebut sebagai wujud dan langkah
reformasi birokrasi dan pelayanan publik.
BAGIAN
3 : EVALUASI PADA NAWACITA KEEMPAT
1. Evaluasi Penguatan Pemberantasan Korupsi
Penguatan pemberantasan korupsi pada tahun
ketiga Pemerintahan Jokowi-JK masih jauh panggang dari apinya. Bukannya
penguatan akan tetapi malah kasus pelemahan KPK yang banyak terjadi seperti: kriminalisai
Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto selaku pimpinan KPK, penyerangan penyidik
senior KPK Novel Baswedan dan pelemahan KPK melalui DPR yang melakukan Hak
Angket. Isu lain yang tak kalah penting adalah kinerja Kejaksaan yang jauh dari
memuaskan di dalam memerangi korupsi hal ini karena banyaknya kasus korupsi
yang tidak bisa diungkap oleh institusi Kejaksaan.
Nawacita pemberantasan korupsi Jokowi-JK semakin
jauh karena sejumlah kasus korupsi justru malah terjadi di era pemerintahannya,
seperti korupsi Direktorat Pajak, Kejaksaan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian
Desa, selain itu 18 Kepala Daerah tertangkap tangan oleh KPK karena korupsi,
selain itu pemberian remisi bagi narapidana korupsi juga menjadi catatan suram
bagi pemberantasan korupsi era Jokowi-JK.
Kedepannya untuk meningkatkan pemberantasan
korupsi diperlukan tindakan nyata dari Presiden Jokowi, seperti melakukan
penguatan institusi KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dan meningkatkan sinergi
antar lembaga penegak hukum serta ikut turun tangan apabila ada permasalahan
antar institusi tersebut.
Penguatan regulasi juga perlu yaitu
menyelesaikan pembentukan RUU Perampasan Aset, RUU Kerjasama Timbal Balik dan
RUU Pembatasan Transaksi Tunai, dan mengevaluasi pelaksanaan rencana aksi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi.
2.
Evaluasi
Penegakan Hukum
Penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi
seolah-olah disandera oleh banyak masalah, baik berasal dari DPR maupun berasal
dari penegak hukum itu sendiri. Beberapa catatan penegakan hukum yang tidak
mencermikan upaya pemberantasan korupsi era Jokowi-JK adalah pertama, Jokowi
tidak mendukung KPK dalam menghadapi Pansus DPR hal ini tercermin dari sikap wakil
pemerintah dalam hal ini Kemendagri dan Kemenkumham dalam uji materi UU MD3 di
Mahkamah Konstitusi, di dalam sidang pemerintah menyatakan Hak Angket DPR tidak
bermasalah, kedua, Kejaksaan Agung yang tidak melakukan reformasi aparaturnya
walaupun sudah banyak Jaksanya yang tertanggkap tangan KPK, ketiga, Kepolisian
mengkriminalisasi pimpinan KPK serta tidak mengusut kasus Novem Baswedan yang
sudah jalan 8 bulan sejak 11 April 2017.
Regulasi yang dikeluarkan di era Jokowi-JK juga
banyak yang menimbulkan permisifitas korupsi, hal ini terlihat dari keluarnya
Surat Edaran Sekretaris Kabinet dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016
tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang membuat impunitas bagi
Kepala Daerah. Sesuai aturan tersebut Kepala Daerah tidak dapat lagi disentuh
langsung oleh lembaga penegak hukum apabila melakukan kesalahan dalam penyerapan
anggaran akan tetapi harus melalui upaya administrasi terlebih dahulu. Hal ini
menjadi catatan yang menunjukkan Jokowi-JK tidak melihat penegak hukum sebagai
pendukung pembangunan ekonomi.
Kurun waktu Januari 2015 hingga September 2017 aparat penegak
hukum menangani sebanyak 1.306 kasus dan jumlah tersangka mencapai 3.018 orang.
Total kerugian negara mencapai Rp. 7,8 triliun dan nilai suap Rp. 717 miliar.
Terhadap kasus tersebut banyak yang belum terselesaikan terutama di institusi
Polri, sehingga diperlukan role model dan dorongan yang kuat dari Pemerintahan
Jokowi-JK untuk memberantas korupsi terutama dibidang regulasi dan aparatur.
BAGIAN
4 : PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM ANGKA
1. Indeks Persepsi Korupsi Indoneia
1. Indeks Persepsi Korupsi Indoneia
Sejak
tahun 1995 Tranparansi Internasional telah menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) setiap tahunnya, nilai IPK adalah dari 1-100. Semakin tinggi nilainya
maka pemberantasan korupsi semakin baik dan Negara semakin bebas dari korupsi.
Berikut ini adalah data IPK Indonesia dari tahun 2014-2016.
Sumber : http://ti.or.id/
No
|
Tahun
|
Skor
|
1.
|
2014
|
34
|
2.
|
2015
|
36
|
3.
|
2016
|
37
|
Meskipun nilai Indonesia membaik namun urutannya
masih stagnan di urutan 90 dari 176 Negara di dunia. Ditingkat ASEAN posisi Indonesia
dibawah Singapura (skor 85), Brunei Darussalam (skor 58) dan Malaysia (skor
49). Hal ini menjadi catatan Indonesia terutama pemerintah harus bekerja lebih
keras lagi untuk menaikkan nilai IPK tersebut.
2.
Indeks
Perilaku Anti Korupsi (IPAK)
IPAK adalah survei yang mengukur tingkat permisifitas masyarakat terhadap perilaku korupsi, angka
ini dinilai skala 0-5, semakin rendah maka masyarakat semakin permisif dengan
perilaku korupsi sebaliknya semakin tinggi maka warga masyarakan semakin anti korupsi.
Indeks ini dinilai dari dua dimensi utama yaitu, pertama unsur persepsi yang berupa
pendapat/penilaian terhadap kebiasaan perilaku koruptif di masyarakat, dan
kedua adalah pengalaman (perilaku koruptif). Adapun data IPAK Indonesia dari
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, 2015 dan 2017 adalah dibawah ini :
Sumber : https://www.bps.go.id/
No
|
Tahun
|
Indeks persepsi
|
Indeks pengalaman
|
1.
|
2014
|
3,61
|
3,49
|
2.
|
2015
|
3,59
|
3,39
|
4.
|
2017
|
3,71
|
3,6
|
Indeks
persepsi ini walaupun meningkat namun itu baru indeks berdasarkan persepsi,
indeks berdasarkan pengalaman atau kejadian sehari-hari justru berbeda. Indeks
persepsi cenderung meningkat namun indeks pengalaman cenderung menurun kecuali
tahun 2017 yang di mana indeks persepi dan indeks pengalaman sama-sama naik. Hal
ini menjadi tugas bersama antara masyarakat dan pemerintah menaikkan perilaku
anti korupsi tersebut melalui upaya preventif atau pencegahan yang dimiliki
oleh lembaga-lembaga pemerintahan.
BAGIAN 5 : KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
1.
Kesimpulan
Berdasarkan penilaian di atas maka secara
keseluruhan penulis dan banyak kalangan menilai bahwa program pemberantasan korupsi,
perbaikan sektor birokrasi dan perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik
tidak memuaskan. Penulis melihat bahwa Pemerintahan Jokowi-JK tidak banyak
menaruh perhatian pada agenda perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik,
pembenahan pada sektor politik, khususnya reformasi sistem kepartaian yang
dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi lembaga politik, perbaikan
kualitas serta kinerja penegakan hukum. Usaha itu bukan tidak ada, namun tidak
menunjukkan level yang serius dan berkomitmen. Akibatnya berbagai implementasi
kebijakan maupun substansi kebijakan belum sejalan dengan semangat Nawacita.
Kemauan politik pemerintah untuk pembangunan tak
dapat dipungkiri sangat besar. Namun, pembangunan yang tidak diikuti dengan
perbaikan pada struktur, aturan main dan perilaku penyelenggara negara justru
akan mengancam agenda pembangunan itu sendiri. Kasus proyek Hambalang dan
korupsi proyek e-KTP adalah dua contoh yang Pemerintahan Jokowi-JK semestinya
bisa belajar untuk tidak mengabaikan agenda pemberantasan korupsi.
2.
Rekomendasi
Pertama, pada sisa dua tahun Pemerintahan
Jokowi-JK, momentum untuk memperbaiki tata kelola partai politik hampir tidak
dimiliki lagi. Hal ini mengingat UU Partai Politik dan UU Pemilu telah disahkan
sehingga menutup peluang bagi perbaikan secara fundamental lembaga politik yang
selama ini dikenal korup. Peluang pemerintah hanya ada pada upayanya untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan partai politik mengingat Pemerintah
telah mengambil kebijakan peningkatan subsidi negara untuk partai politik.
Tanpa sistem, aturan, dan mekanisme yang memadai untuk memastikan tingkat
transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, anggaran yang meningkat dari negara
tidak akan mampu menjawab kebutuhan awalnya, yakni mengurangi monopoli
kekuasaan di tubuh partai politik.
Kedua, Pemerintahan Jokowi-JK tidak melihat
upaya pembenahan lembaga penegak hukum sebagai prioritas kerja. Kinerja
penegakan hukum yang buruk dan korupsi yang melilit lembaga penegak hukum belum
dapat diselesaikan masalahnya. Pemerintahan Jokowi-JK harus memanfaatkan dua
tahun waktu tersisa untuk mempercepat agenda perbaikan internal lembaga penegak
hukum, jika perlu, mengganti para pembantunya yang tidak sejalan dengan program
kerjanya. Pemberantasan mafia sektor penegakan hukum harus dilengkapi dengan
upaya memperbaiki kultur organisasi, perbaikan pada tata laksana, struktur
organisasi, dan perbaikan pada aspek kesejahteraan mereka sebagai personal.
Namun hal itu juga harus diikuti dengan langkah keras dan tegas untuk tidak
mentoleransi berbagai penyimpangan kekuasaan dan praktek pelanggaran kode etik.
Ketiga, perbaikan pada layanan sektor publik melalui tim saber pungli mungkin
memiliki efek jera dalam jangka pendek. Namun, Pemerintah harus berkaca pada
sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dimana berbagai macam operasi yang
dicanangkan Pemerintah untuk memberantas korupsi level kecil dan memperbaiki layanan
publik gagal mendapatkan hasil terbaiknya. Sebagian kegagalan itu terjadi
karena fokus atau titik tekan perbaikannya lebih pada upaya penegakan hukum,
namun tak dilanjutkan dengan agenda reformasi kelembagaan yang mendasar.
Pemerintah perlu menimbang rekomendasi yang
telah disusun KPK untuk mengatasi masalah korupsi dana desa. Ketiga, kebijakan
pemerintah yang terkesan ragu-ragu, atau bahkan cenderung bertolak belakang
dengan pemberantasan korupsi perlu dievaluasi. Penguatan pada lembaga antikorupsi
yang independen seperti KPK harus lebih konkret, mengingat sampai hari ini, serangan
terhadap lembaga itu masih terus terjadi. Wacana Presiden untuk memperkuat pemberantasan
korupsi tidak bisa hanya berhenti pada pernyataan lisan.
Pemerintah juga perlu mempromosikan dengan
segera berbagai kebijakan yang mendukung upaya pemberantasan korupsi dan
pencucian uang. UU Pemulihan Aset dan UU Pembatasan Transaksi Elektronik perlu
diprioritaskan pada agenda pembahasan legislasi nasional 2018.
Sumber
Tulisan
1. Visi
dan Misi Jokowi-JK bulan Mei 2014 pdf.
2. Laporan
3 Tahun Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla
3. Laporan Indeks Persepsi Korupsi 2016 Balai Penelitian Teknologi
Bahan (Bptba) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pdf.
4. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2015 No. 21/02/Th. XVIII, 22 Februari 2016 pdf.
5. Indonesia Corruption Watch Evaluasi Program
Pemberantasan Korupsi 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, 20 Oktober 2017 pdf.
6.
Laporan Tahunan KPK 2016, pdf.
7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun
2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
8. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
9.
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2016 Tentang Aksi Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 Dan Tahun
2017
10. Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Aksi Pencegahan Dan Pemberantasan
Korupsi Tahun 2015n 2016 Dan Tahun 2017
13.Https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/3468-kpk-dorong-tata-kelola-parpol-berintegritas
14.http://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/08204641/ini-penjelasan-soal-5-isu-krusial-ruu-pemilu-yang-akhirnya-diketok-palu-
18.http://ekonomi.kompas.com/read/2017/06/15/151514126/bps.indeks.perilaku.anti.korupsi.2017.naik.jadi.3.71
25.https://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Persepsi_Korupsi#Negara-negara_terbersih_dan_terkorup_didunia
26. https://www.transparency.org/reportcorruption
27. https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1313
Komentar
Posting Komentar