Upaya
Setya Novanto : Imunitas dan Izin Presiden
Sejak putusan Praperadilan yang
memenangkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto, Komisi
Pemberantas Korupsi (KPK) sudah 3 kali memanggil Setya Novanto terkait dengan
kasus e-KTP namun sampai saat ini tidak pernah hadir. Pengacara Setya Novanto menyatakan bahwa pemanggilan anggota DPR tidak
dibenarkan karena Anggota DPR punya hak
imunitas yang diberikan oleh undang-undang, sehingga menurutnya anggota DPR
tidak dapat diperiksa apabila melakukan tindak pidana, selain itu
pengacaranya berkilah bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
pemeriksan anggota DPR harus terlebih dahulu mendapatkan izin tertulis dari
Presiden.
Hak Imunitas Anggota DPR
Hak
Imunitas adalah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada anggota DPR untuk
dapat melaksanakan tugas dan fungsinya, adapun fungsi yang dimaksud adalah
fungsi Legislatif, Anggaran dan Pengawasan. Dalam sejarahnya tujuan diberikan
hak ini adalah untuk melindungi kebebasan berbicara legislator di Parlemen
serta menjaga pemisahan kekuasaan antara legislatif dan penegak hukum, hal ini
semata-mata untuk menjaga dan membentengi kekuasaan legislatif dari penguasa
diktator. Hal ini sudah digunakan dibanyak negara demokrasi seperti
negara-negara di Eropa, Amerika dan Indonesia.
Di Indonsia
Hak Imunitas di atur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 20A ayat 3 yang
berbunyi “Selain
hak yang diatur dalam pasal pasal lain UndangUndang Dasar ini, setiap
anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”
Peraturan lanjutan hak Imunitas
DPR ini diatur didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), terutama dalam pasal 80 dan pasal 224.
Pasal 80 berbunyi “Anggota DPR berhak: a. mengajukan usul rancangan
undang-undang; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d.
memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler; h.
keuangan dan administratif; i. pengawasan; j. mengusulkan dan memperjuangkan
program pembangunan daerah pemilihan; dan k. melakukan sosialiasi
undang-undang”.
Selanjutnya
Pasal yang menjelaskan hak imunitas ini adalah dalam pasal 224 ayat (1) yang berbunyi “Anggota
DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik
secara lisan maupun tertulis di
dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta
wewenang dan tugas DPR”
Hak Imunitas ini mempunyai prosedur khusus yaitu apabila
penegak hukum melakukan pemanggilan anggota DPR terkait kasus tindak pidana,
pemanggilan harus mendapat izin tertulis Presiden, hal ini sesuai Pasal 224
ayat (5) yang berbunyi “Pemanggilan dan
permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.
Hak ini sejatinya hak yang
melekat secara hukum untuk melindungi anggota DPR dari tuntutan hukum apabila
sedang dalam melaksanakan fungsi dan tugas sebagai anggota Dewan yang fungsinya
diatur di dalam pasal 69 ayat 1 yang berbunyi : “DPR mempunyai fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. Pengawasan”.
Setya Novanto dipanggil bukan
karena penyataan atau pendapatnya yang dikemukakan di dalam rapat DPR, melainkan
karena KPK ingin mencari fakta dari kasus korupsi e-KTP karena Setya Novanto
diduga ikut terlibat dalam kasus tersebut. Sehingga melihat dari aturan yang
ada maka Setya Novanto tidak dapat berlindung dibalik hak imunitas tersebut dan
sudah sepatutnya memenuhi panggilan KPK.
Izin
Presiden
Alasan Setya Novanto tidak hadir dalam pemeriksaannya sebagai saksi
pada tanggal 6 November 2017 adalah
bahwa KPK harus mendapatkan izin terlebih dahulu kepada Presiden sebelum
melakukan pemeriksaan terhadapnnya, hal ini dilihat dari surat Sekretariat
Jenderal (Setjen) DPR pada tanggal 6 November 2017. Poin utama dalam surat
tersebut adalah Setya Novanto hanya mau hadir dan diperiksa KPK kalau sudah ada
izin dari Presiden sesuai putusan MK Nomor
76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015 yang menguji UU MD3..
Padahal
Putusan MK Tersebut hanya mengganti kata Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)
menjadi Presiden, hal itu dapat dilihat dalam amar putusannya dalam poin 2.1
yang berbunyi “Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5568) selengkapnya menjadi “Pemanggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat
persetujuan tertulis dari Presiden”.
Izin Presiden tidak diperlukan
dalam pemeriksaan anggota DPR yang melakukan tindak pidana khusus (extraordinary crime) karena pasal 245
ayat (1) mempunyai pengecualian yaitu pasal 245 ayat (3) yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak
pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan
terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang
cukup; atau c. disangka melakukan tindak
pidana khusus”.
Sehingga Novanto tidak punya
alas hukum untuk tidak memenuhi panggilan KPK selain itu sudah kewajibannya
sebagai warga negara terutama jabatannya sebagai pejabat publik harus taat
hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar