Hukum dan Kekuasaan
HUKUM
dan KEKUASAAN
Hukum memberi
kewenangan kepada kekuasaan untuk membentuk dan menjalankan hukum, sementara
hukum adalah produk dari kekuasan. Oleh karena itu hukum yang ada adalah
cerminan dari kehendak yang memegang kekuasaan. Kita tidak bisa hanya menyalahkan
hukum sebagai produk kekuasaan, tetapi kita juga harus memastikan kekuasaan
menciptakan hukum semata-mata untuk kepentingan rakyat. Yang menjadi
permasalahan yang terakhir ini. Apakah hukum yang diciptakan oleh penguasa
untuk kepentingan rakyat atau hanya kepentingan kelompok?
Didalam Negara hukum (rechtstaat)
seperti Indonesia, hukum adalah panglima dalam mengatur kehidupan masyarakat. Artinya
menjunjung tinggi hukum dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum tidak hanya berfungsi sebagai penegak keadilan, pemberi kepastian dan
kemanfaatan akan tetapi juga berfungsi sebagai sarana kontrol sosial (social control) dan juga sebagai sarana
pembangunan masyarakat (social
engineering). Jika digambarkan tujuan dari hukum tersebut, maka hukum
diibaratkan seperti rel kereta api dan sarana pembangunan itu adalah
lokomotifnya maka penumpang itu adalah rakyat, maka kesejahteraan masyarakat
yang adil dan makmur itulah yang menjadi tujuan hukum. Disilah letak substansi
dan cita-cita dari Negara yang menganut supremasi hukum.
Namun hukum tidak dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan,
kekuasaan tersebut sebagai eksekutor dari hukum yang dibentuk. Kekuasaan disini
adalah Negara sebagai pemegang kekuasaan yang abstrak dan pemerintah sebagai kekuatan
yang konkrit. Dalam menjalankan fungsinya penguasa harus berpedoman pada
rambu-rambu hukum agar tidak ada pelanggaran kewenangan (detourdemount de proviour).
Dalam Negara demokrasi seperti Indonesia , kekuasaan
tidak berada dengan sendirinya. Kekuasaan yang ada adalah representasi dari rakyat. Melalui trias politika yang selama ini
kita anut, kekuasaan dibagi menjadi tiga cabang, yang masing-masing mempunyai
fungsinya masing-masing. Fungsi legislatif sebagai pembuat hukum fungsi eksekutif sebagai pelaksana
hukum dan fungsi Yudukatif sebagai pengawas pelaksanaan/penerapan hukum
tersebut. Apabila ketiga cabang kekuasaan ini dapat menjalankan fungsinya
masing-masing dengan baik sebagai pembentuk, pelaksana dan pengawas hukum. Maka
yakinlah Negara Indonesia akan mencapai tujuan\cita-cita Negara ini dibentuk
sebagaimana termaktub dalam pembukaan alinea keempat undang-undang dasar 1945.
Realitas
yang ada
Namun melihat kenyataan saat ini, Negara Indonesia seolah
tidak mempunyai identitas sebagai Negara hukum. Hukum dipermainkan,
diperjualbelikan, dibengkokkan, dimanipulasi demi kepentingan yang berkuasa.
Rakyat kecil tidak tahu kemana akan mencari keadilan dinegeri ini. Republik ini
seperti absen ketika seorang anak kecil yang mencuri sendal harus dihadapkan
keaparat penegak hukum, sementara anak seorang menteri (penguasa) yang menabrak
beberapa orang sampai meninggal dunia hanya mendapat hukuman percobaan. Negara
tidak hadir ketika seorang nenek yang kelaparan hanya mengambil buah pepaya
harus diseret kemeja hijau, sementara banyak koruptor kelas kakap yang hanya
dihukum beberapa tahun saja. Maka jangan salahkan jika rakyat tidak percaya
kepada hukum lagi, yang berimplikasi pada pengadilan jalanan (main hakim
sendiri). Karena hukum diam ketika ketidakadilan makin merajalela, hukum bukan
lagi panglima tetapi seperti prajurit yang bisa disuruh, diatur oleh panglima
(penguasa) untuk kepentingan dirinya.
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh seorang filsuf
Yunani Thrasymachus, bahwa keadilan tak lain adalah apa yang berfaedah
(berguna) bagi orang yang kuat. Maka keadilan bagi orang yang lemah menjadi
barang yang mahal. Karena kenyataanya hukum dinegara ini tajam kebawah tetapi tumpul keatas. Kekuasaan dan hukum
seolah berjalan beriringan untuk mendapat legitimasi untuk hanya menghukum kaum
papa dan rakyat miskin, sebagaimana pandangan Karl Marx bahwa hukum dibentuk
semata-mata dipakai oleh penguasa untuk menindas yang lemah.
Masih
ada Harapan
Hukum bukanlah barang yang mati. Dia hidup, tumbuh dan
mati bersama masyarakat. Ubi society ibi
ius kata Cicero, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Hukum semakin
menemukan bentuknya setelah ada Negara modern dan pemerintah yang menciptakan
hukum tertulis yang mengikat semua masyarakat. Hukum yang dibentuk seharusnya
hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Pembuat hukum dalam hal ini
undang-undang seharusnya memperhatiakan dan menggali norma-norma, adat-istiadat
dan hukum yang tumbuh dalam masyarakat (living
law), agar nantinya hukum yang dibentuk sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat.
Pembuat undang-undang seharusnya belajar dari bapak
proklamator kita Soekarno, yang menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
Indonesia zaman dulu, sehingga terbentuk
Pancasila sebagai filosofi bangsa Indonesia. Begitu juga birokrasi penegak
hukum baik para hakim, jaksa, advokad, sudah saatnya dilakukan reformasi birokrasi
sampai keakar rumput. Agar nantinya tidak ada lagi mafia peradilan yang
memperjualbelikan hukum kepada yang punya uang dan yang memegang kekuasaan.
Supaya nantinya hukum dapat dipercaya oleh masyarakat dan mengembalikan
fungsinya sebagai sarana dalam membangun Indonesia raya.
Nama : Gunawan Simangunsong
Nim : 1140050160
Jurusan : Hukum
Fakultas : Hukum Universitas Kristen Indonesia
No. Hp : 085285513740.
Komentar
Posting Komentar